Sisi Lain


Bertahan untuk memeriahkan pesta 17 Agustus dalam perlombaan panjat pinang. Ada sisi kemanusiaan lain yang seharusnya perlu direnung.

Tangis mereka kemudian menjadi sandiwara dan galak tawa ratusan dan bahkan ribuan orang. Kita senang! Anak kita juga dengan riang gembira terbahak. Gaduh!
Namun dibalik kegembiraan kita, Yakinlah! Ada buah hati mereka yang kerap berharap cemas, bila saja insiden yang tidak diharapkan terjadi.
Demi 100 hingga 200 ribu mereka mengabaikan tawa kita. Tau kenapa? Karena keterpaksaan membuat mereka rela melakukan apa saja. Sekali lagi, demi si buah hati dan orang tercinta

Sudut Pandang

Terkadang sesuatu yang terlihat sederhana akan menjadi luar biasa pada saat perspektif yang berbeda. Ini tentang sudut pandang.

Negeri Antara 2009

Oleh Andi Firdaus

Di bulan ‘ber’ kami tak hanya ‘berselingkuh’ dengan hujan dan ‘mesra’ dengan dingin. Tapi bercengkerama dengan orang-orang dalam berbagai latar belakang merupakan fakta yang harus kami bicarakan. Aceh, Jawa, Gayo, dan Batak adalah nuansa pluralisme memaknai sebuah konsep kebersamaan.

Ada sucuil pengalaman penting kami dirasakan pada bulan September, Oktober, November dan Desember. Berhadapan dengan mata dan wajah-wajah yang dimiskinkan oleh system misalnya. Mereka bukan tak mengerti realitas tentang hidup, bahkan mereka justru lebih menikmati hidup dalam pluralisme kebersamaan.

Semangat gotong-royong demi mewujudkan desa yang lebih mandiri adalah tujuan dari aneka factor. Bukan bangunan fisik yang perlu mereka rasakan, tapi kebersamaan dalam kesulitan yang perlu mereka cari. Kami melihat dari celah social movement yang seakan hadir kembali di antara bukit-bukit dan lembah-lembah gunung di Kabupaten Bener Meriah. Kami komitmen, ini jangan sirna!

Meski empat bulan berada dalam bulan ‘ber’ tetapi romantisme itu terjalin kuat seakan tak dipisahkan oleh rasisme yang ditanam ketika konflik mewabah di dataran gayo. Damai Helsinki, 15 Agustus 2005 adalah celah dan ruang memaknai persahaban dan solidaritas. Kami bekerja di LSM, tapi kami belajar dari mereka—orang-orang desa pedalaman—tentang solidaritas memaknai sesama. Kami lemah!

Kami juga menyadari, berada ditengah-tengah kerumunan orang berpakain lusuh—pikiran mereka justru lebih maju tentang kemanusiaan dan harga diri, ketimbang mereka berkerah putih yang selalu membuat ulah di atas muka bumi—sebuah inspirasi menghargai manusia satu dengan lainnya.

Mengutip kata seorang tokoh revolusi pendidikan di Brasil, Paolo Freire tentang bagaimana merubah sebuah realitas berawal dari sifat dan karakter pelaku perubahan itu sendiri. Paolo mengatakan bahwa Pengalaman adalah guru, dan ilmu adalah masyarakat. Jika saja melihat kutipan ini, terlalu besar jasa orang-orang yang kita anggap kampungan telah mengajari kita tentang hidup!

Kadang sebagai pekerja dan pelaku perdamaian terlalu egois. Seakan mereka membawa konsep kebersamaan dan partisipatif kepada masyarakat. Membawa ide hubungan-hubungan social dalam masyarakat. Mereka belajar dari teori lembaran-lembaran buku hasil tulisan para ilmuwan. Tapi dalam keterbalikan, orang-orang ‘kampungan’ tak bisa berteori, tapi mereka mampu melakoni.

Tahun 2001 sebagai petaka yang menorehkan sejarah hitam di bumi dingin negeri Antara. Tanpa senjata yang bicara, maka konsolidari menjadi tatanan terdefrag dengan sendirinya. Mereka seperti kehilangan romantisme bersahabat dengan Jawa, Aceh, gayo dan batak. Itu karena senjata telah memaksa mereka tidak bersaudara.

Kini, iklim demokrasi dan keterbukaan informasi semakan menjadi. Ruang ekspresi terbuka untuk sebuah konsolidasi. Biarkan mereka tersenyum sedikit, tertawa sebentar, dan ‘berselingkuh’ dengan persahabatan. Dan kita yang kerap mengklaim pelaku damai, bisa belajarlah dari keceriaan mereka.

Tak terasa, ruang-ruang itu ternyata mampu mengangkat keangkuhan sang pemilik kesombongan. Seakan bicara damai dan kebersamaan adalah milik si angkuh dan si sombong yang kerap berpenampilan rapi dan bermulut oportunis. Ternyata dilain sisi, mereka yang tinggal di gunung-gunung dan kebun adalah pelaku perdamaian.

Mereka bisa duduk sejajar bahu tanpa ingin menipu. Mereka bisa bersua tanpa niat mencela. Mereka juga bisa bekerja, tanpa meminta tanda jasa. Sekali lagi, mereka bisa bicara tak pandang siapa. Sepertinya mereka sangat dewasa memaknai nostalgia yang lama redup oleh angkuhnya kekuatan senjata. Kini kami belajar, bahwa dalam ruang hampa alam kedinginan, ternyata hati mereka lebih dingin memahami antar sesama. Terima kasih telah mengajari kami-kami yang angkuh! Negeri Antara 2009 sebuah inspirasi.




SUMPAH

Oleh Andi Firdaus

Demi Tuhan Aku bersumpah
Demi Tanah ini Aku berjanji
Demi leluhur yang Aku cintai
Demi nurani Aku mengabdi

Demi manusia yang tak henti menodai
Demi malaikat yang selalu tepat janji
Demi binatang yang tak mengerti
Demi tumbuhan yang setia menemani

Demi semuanya
Demi kita
Demi bangsa
Berikan harga diri pada bangsa kami!


Lancok, 12 Agust 09